GERIMIS INI TURUN UNTUKMU Saat pertama kali kuinjakkan kaki di kota kecamatan, yang pertama kuingat bukanlah wajah Jailu. Wajah dalam foto yang pernah dikirimkan untukku. Berlembar-lembar surutnya! Itulah yang hadir di benakku saat turun dari bu. Hijau jalan menuju desanya, dalam kejauhan menembus bukit dengan aspal kerikil, membuatku hampir tak percaya bahwa Jailu bisa menulis surat dengan kalimat yang begitu lugas, lincah dan tak pernah ada kesalahan ejaan dalam tulisannya di surat. Tahu nggak Nin, saat menerima suratmu yang kemarin aku baru pulang dari sekolah. Tak peduli belum makan siang, aku langsung lari masuk kamar untuk membaca suratmu. Tapi suratmu nggak kubaca, berhari-hari! Aku kesal denganmu. Kamu nggak fair, aku sudah capek-capek ke kota kecamatan untuk berfoto lalu kirim ke kamu…eeh kamu nggak membalasnya dengan selembar fotomu pula. Atau kamu mau mutusin persahabatan kita? Hanya karena wajahku di foto sangat kampungan, kulit hitam bahkan berkesan berdebu? Jengkel! Nin, apa kamu nggak tahu? Mencari sahabat nggak boleh lihat dari kulit luar. Banyak orang yang tampang keren tapi di balik dadanya yang ada hanya benci, iri dan tamak. Buah manis berulat di dalamnya! Entah kalimat cacian apalagi yang ada dalam suratnya, aku tak menghafal semua. Tapi cacian itu tak membuatku marah apalagi kesal, aku bahkan tersenyum lalu menyusun rencana untuk menemuinya di desa. Bukannya aku tak mau mengirim foto untuk Jailu, tapi aku takut, setelah melihat fotoku dia malah tambah kecewa dan tak mau berteman lagi denganku. Memang iya sih, cari teman tak boleh hanya melihat kulit luarnya, tapi yang pasti jika dia tahu siapa diriku yang sebenarnya, aku yakin dia akan tambah jengkel dan tak mau berteman lagi denganku. "Masih jauh, Pak?" tanyaku pada sopir angkot yang membawaku ke desanya setelah tadi turun di terminal bus kecamatan. "Mungkin malam baru tiba, jam tujuh paling cepat!" Kulihat jam di pergelanganku. Baru jam tiga sore, berarti masih empat jam. Sebenarnya aku betah dengan perjalanan ini, jalan desa yang diapit gunung-gunung menjulang dengan perkebunan kol dan bawang merah menghampar hijau di kaki gunung. Tapi aku penasaran ingin melihat air muka Jailu saat melihat sosokku yang sebenarnya. Kecewakah, marah atau bahkan tambah suka padaku? Aku yang ingin membuat surprise untuknya, tapi aku yang seolah ingin mati penasaran. "Kenal dengan Jailu, Pak?" Aku mencoba bertanya, bukankah orang-orang kampung biasanya saling mengenal satu sama lain. Tidak seperti orang kota yang dengan tetangga pun kadang tak kenal. Sopir itu melirikku, mungkin jika tak takut mobilnya salah jalur dan masuk jurang yang mengapit jalan desa, dia pasti akan menatapku lama-lama. "Kenal, anak Pak Hasan. Mau ke sana, kamu keluarganya dari kota, ya?" Aku mengangguk. Sangat kutahu, bohong itu dosa. Tapi untuk mengaku bahwa aku dan Jailu bersahabat, sopir itu pasti tak percaya. Tapi kebohongan itu akhirnya membuatku bungkam saat pak sopir menyerangku dengan berbagai pertanyaan tentang keluarga Jailu. Padahal yang kutahu, tidak lebih dari Jailu yang masih duduk di Sekolah Dasar. "Jailu anaknya nakal. Bukan hanya di kampung, bahkan terkenal sampai ke tetangga kampung, namanya dikenal sebagai anak nakal." Aku tersentak. Kuingat kembali surat-surat Jailu yang menurutku jauh dari kesan nakal seperti yang baru saja kudengar. Pembukaan suratnya selalu dengan salam, bahkan memintaku rajin belajar, salat dan patuh pada orangtua. Terlebih, Jailu selalu titip salam untuk mama dan papaku saat menutup suratnya. Aku menggeleng. Rasanya tak percaya bahwa Jailu anak nakal. Kubuka tas lalu mengambil fotonya yang kuselip di diary-ku. Semakin tak percaya melihat foto itu, sangat jauh dari kesan nakal. Aku semakin tak mengerti. Mungkin benar, seseorang tak boleh dinilai baik atau buruknya, hanya dengan melihat kulit luarnya. "Dia bahkan tak naik kelas tahun ini!" Dadaku bergemuruh tak karuan. Saat penumpang yang duduk tepat di samping kiriku berucap, menambah daftar keburukan Jailu. Mungkin penumpang itu melihat mimik ketakpercayaanku hingga memperjelasnya lagi dengan kalimat yang kali ini membuatku tambah bisu. "Anakku yang sekelas dengan dia sering menangis saat pulang sekolah. Kalau bukan pensil, bukunya yang diambil paksa oleh Jailu. Guru di sekolahnya pun mengaku kewalahan." Jalan desa mulai gelap. Kabut menggulung pekat, turun dari pegunungan yang mengapit jalan desa. Adzan maghrib berkumandang. Rumah penduduk yang tidak terlalu rapat telah diterangi lampu minyak. Aku mendesah. Selama ini Jailu tak pernah bercerita dalam suratnya bahwa listrik belum masuk kampungnya. Juga tak pernah bercerita bahwa dia tidak naik kelas, padahal suratnya yang terbaru tiba di tanganku saat musim liburan tiba. Aku jadi ragu, jangan-jangan banyak lagi kebohongan Jailu yang terungkap saat bertemu nanti. Tentu saja aku tak berhak marah dengan kebohongannya itu, karena aku pun tak pernah bercerita tentang siapa diriku sebenarnya. Jailu… Jailu! Entah harus tertawa atau sebaliknya saat menyebut nama itu. Pertama melihat nama dan fotonya terpampang di rubrik Sahabat Pena, majalah anak-anak, membuatku tegoda untuk mengerjainya dengan mengajaknya bersahabat. Nama desanya yang sebelumnya tak pernah kudengar membuatku yakin dia anak kampung. Tapi bukan itu yang membuatku tergoda untuk mengajaknya bersahabat pena, juga bukan wajahnya di foto yang begitu polos berkesan lugu. Cita-citaku menjadi penulis. Lebih dari Khairil Anwar atau J.K. Rowling-nya Harry Potter sekalipun. Aku akan tetap menulis, hingga saat tintaku habis, cita-cita itu tak 'kan pernah pupus. Kalimatnya di majalah itu yang membuatku tergoda. Lalu jika kampungnya sesunyi dan terpencil seperti ini, dari mana dia kenal J.K. Rowling, bahkan majalah anak-anak terbitan ibu kota itu bagaimana bisa dia tahu alamatnya? Anak-anak di kota pun paling cuma kenal Harry Potter, bukan J.K. Rowling. Aku menggeleng penuh ketakmengertian. Kesan Jailu sebagai anak nakal berganti menjadi anak "aneh" menurutku. Mobil berhenti di depan sebuah rumah berdinding anyaman bambu, beratap daun rumbia. Cahaya lampu yang menyala redup dari dalam rumah pun menandakan, rumah itu hanya diterangi pelita. Bukan lampu petromaks seperti kebanyakan yang kulihat di sepanjang jalan tadi. "Itu rumah Jailu." Aku masih tertegun menatap rumah yang lebih pantas disebut gubuk itu. Telunjuk sopir angkot pun masih lurus ke arah rumah itu. Dia mengangguk, meyakinkanku bahwa itu adalah rumah Jailu. Didahului dengan desah napas, aku turun dari mobil dan melangkah pelan menuju rumah Jailu. Lelah dan penat masih melemaskan persendianku. Juga keraguan pada diri Jailu membuatku belum berani mengetuk pintu. Mungkinkah Jailu mau menerimaku sebagai sahabat, bukankah aku telah membohonginya. Menulis dalam suratku bahwa aku masih duduk di bangku SD padahal tahun ini aku sudah naik kelas dua SMU. "Untuk pulang pun rasanya mustahil. Jalan terbaik, juga jalan satu-satunya adalah mengetuk pintu, lalu memperkenalkan diri sebagai Nina, sahabat penanya dari kota. Bukan hanya itu, aku pun harus memberinya pengertian bahwa persahabatan tak hanya berpantang sekedar melihat kulit luar, tapi juga umur. Keinginanku untuk bersahabat dengan Jailu, tulus dari hati. Semoga dia mau memanggilku 'Kak Nina'," batinku sambil mengetuk pintu. "Ada Jailu, Bu?" Wanita setengah baya yang kuyakin ibu Jailu itu menatapku heran. "Jailu menemani ayahnya ke kebun." Keningku berkerut. Meski aku orang kota, setahuku kerja kebun itu waktunya siang. "Belum pulang dari kebun ya, Bu?" "Dia nginap di sana, sudah seminggu. Akhir-akhir ini tanaman kami sering diganggu babi kalau malam. Jadi harus dijaga! Jailu kan libur…" Kalimatnya terhenti. Aku yakin, ketakberaniannya melanjutkan kalimat ada hubungannya dengan pembicaraan tadi di angkot, tentang Jailu yang tak naik kelas. "Sepertinya malam ini aku belum bisa bertemu dengan Jailu. Entah kenapa, ada yang aneh, bergemuruh di balik dadaku saat mengingat Jailu. Akankah dia menerimaku sebagai sahabat? Ah, semoga!" batinku sambil menarik selimut pemberian ibunya. Kupaksa pejamkan mata meski tak lelah. Tak seperti biasa, aku yang rajin mandi pagi bahkan sering kena marah bila berlama-lama di kamar mandi karena banyak yang mau pakai, kali ini tidak. Kampung Jailu yang berada di kaki gunung, membuatku seperti membeku kedinginan. Ibunya yang ramah bahkan menertawaiku karena masih menggunakan selimut yang semalam kupakai tidur, padahal aku sudah duduk di beranda depan, menunggu kedatangan Jailu. "Biar nggak dingin, selimutnya dilepas lalu olahraga pagi." Kucoba mengikuti saran ibu Jailu, tapi baru semenit lepas dari selimut, aku melipat tangan di dada lalu mencari jaket. Teh yang masih mengepul kuseruput hati-hati, demi menghangatkan tubuh. Kulihat ibu Jailu tersenyum lagi melihat tingkahku. Kubalas senyumnya dan mencoba bertanya banyak tentang Jailu. Ada rasa enggan di wajahnya untuk bercerita tentang Jailu. Tapi menyadari kedatanganku yang dari jauh hanya untuk bertemu Jailu, membuat mulutnya terbuka juga. Diakuinya bahwa Jailu nakal, sangat nakal! Tapi dia pun menyadari, kenakalan itu ada karena Jailu tak puas dengan keadaannya. Jailu punya cita-cita tapi lepas SD dia harus melepas seragam sekolahnya. "Dari mana kami ambil uang untuk membiayainya. Nak Nina lihat sendiri keadaan kami. Apalagi, untuk masuk SMP dia harus ke kota kecamatan. Kampung ini hanya punya sekolah SD." Kurasa air mataku ikut menetes. Cerita selanjutnya semakin memerihkan. Tentang Jailu yang sering bolos sekolah, sering didapat di kantor pos kecamatan. Tak jarang ayahnya memukulnya jika dengar kabar Jailu habis bolos sekolah hanya untuk ke kantor pos dan tak tahu cari apa di sana. Aku tahu, pasti Jailu ke kantor pos untuk mengirim surat padaku. Perjuangannya untuk menjadi sahabatku ternyata begitu berat. Dia pasti kecewa karena aku bukanlah Nina yang masih seumur dengan dia. Menyesal aku telah membohonginya, padahal maksudku baik. Aku takut dia tak mau menjadi sahabatku hanya karena aku sudah sekolah di SMU. Padahal aku suka sekali membaca surat-suratnya. Ceritanya polos dan punya gaya bahasa yang indah, sedikit pun tak menandakan dia masih duduk di bangku SD. Ternyata bohong demi apa pun, ujungnya adalah sesal, seperti yang kualami sekarang. Tapi semoga Jailu bisa mengerti bahwa persahabatan tidaklah harus dengan orang yang seusia. "Majalah itu hampir tiap malam dibaca Jailu, seolah tak pernah bosan," cerita ibunya lagi sambil memperlihatkan sebuah majalah anak-anak untukku. "Majalah itu dikirimkan oleh teman sekolahnya dulu tapi kini pindah ke kota. Hingga kini temannya masih sering mengirimkan majalah untuknya." Aku yakin, majalah anak-anak itulah yang memperkenalkanku dengan Jailu. Bakat menulis Jailu memancing dia untuk mengirim biodata dan fotonya ke majalah itu. Hingga akhirnya, aku yang sering membeli majalah anak-anak untuk adik sepupuku, dipertemukan dengan biodata Jailu. Kisah persahabatan itu pun mengalir. Aku yang tak punya adik, merasa dianugerahi adik setelah bersurat-suratan dengan Jailu. Matahari belum juga muncul. Kabut masih menguasai perkampungan. Masih dengan jaket tebal, aku bergerak ke kamar. Memastikan bahwa robot, mobil-mobilan dan juga komik yang kubawa untuk Jailu sebagai tanda persahabatan, tak ketinggalan. Saat hadiah itu kupastikan tak tertinggal dan hendak kukeluarkan dari tas, tiba-tiba suara ribut dari luar rumah membuatku urung mengeluarkannya. Aku berlari keluar dan berharap Jailu yang baru pulang dari kebun. Mataku seakan tak percaya menatap kedatangan Jailu. Ya, aku tak salah, dia adalah Jailu, meski kedatangannya diantar oleh beberapa orang. Ibunya menangis histeris, ayahnya terpaku dalam diam. Tubuh Jailu lemas di atas tandu yang ditempatinya terbaring. "Jailu…" Tak ada reaksi. Jailu masih memejam mata meski masih kulihat gerak turun naik di dadanya. Kucari dan kurasa denyut nadi di pergelangannya, masih ada. "Jailu, aku Nina, sahabat penamu." Perlahan matanya terbuka, redup sekali tatapannya. "Benar, aku Nina. Aku datang mencarimu, Jailu!" Mata redupnya jelas tak percaya bahwa aku adalah Nina. Semua karena bayangannya tentang diriku adalah seorang anak SD yang seusia dengan dia. "Pecayalah, Jailu! Aku Nina, sahabat kamu. Aku memang salah karena membohongi kamu. Tapi kamu pernah bilang kan, memilih sahabat tak boleh hanya melihat kulit luarnya. Kamu juga harus tahu, Jailu, persahabatan tak memandang usia atau apa pun." Mata redup Jailu menatapku lagi. Lama sekali! Masih ingin kutatap mata itu, tapi kembali padam. Membuatku panik. "Jailu!" Kurasakan tangannya yang dari tadi kugenggam, kini balas menggenggam. Juga kulihat senyum dari bibirnya yang sudah mengering. Sebuah pertanda bahwa dia menerimaku sebagai sahabat. "Jailu!" Tak ada reaksi. Tatapan redupnya pun tak ada. Kosong, hampa! Meyakinkanku bahwa Jailu telah pergi. Kulabuhkan tubuh ke pelukan ibunya yang semakin tak bisa menahan tangis. Ayahnya berusaha tegar meski tetap kecolongan karena air matanya tak berhenti mengucur. Tak hanya sedih, kulihat sinar sesal di matanya. Seolah merasa tak pernah membahagiakan Jailu, bahkan sering memukulnya. Dia pun tak pernah menyangka, hanya sehari terserang demam tinggi dan terkadang menggigil kedinginan, akan membawa Jailu pergi dalam keabadian. Dia pergi bersama malaria yang menjangkitinya. Sedih memang. Tapi tetap kusabarkan hati bahkan mencari celah terkecil dari kejadian ini untuk kusyukuri, karena Tuhan masih mengijinkanku untuk menjelaskan semuanya pada Jailu, tentang diriku yang sebenarnya. Penuh kecewa, kumasukkan kembali robot, mobil-mobilan, dan komik yang akan kuberikan untuk Jailu. Semua ini bukan untuknya, Tuhan tak mengijinkanku untuk menandai persahabatanku dengan Jailu, dengan materi. Gerimis tiba-tiba turun, tanpa mendung, apalagi petir. Dan bukankah sekarang musim kemarau? "Aku yakin, gerimis ini turun untukmu, Jailu," desis batinku. Seolah langit tak tega membiarkanmu pergi tanpa air mata. Semua karena langit tahu ketulusan hati juga perjuanganmu mencapai cita-cita, untuk menjadi penulis. Langit ingin memperlihatkan pada semua orang, Jailu, bahwa kepergianmu harus ditangisi, meski kamu dikenal sebagai anak nakal. Ah, kamu bukannya nakal, tapi tak puas dengan keadaanmu. Tapi inilah takdirmu yang terakhir, harus kamu terima keadaan ini. Semoga kamu merasakan damai di sana!